Laporan: ARIFUL AZMI USMAN
SICUPAK.COM, ACEH
TIMUR – Sebuah sepeda motor, melintas dengan speedometer naik turun pada angka
40 dan 60, ditunjukkan oleh jarum berwarna kuning tepat di hadapan pengendara
yang memakai baju tebal berwarna kecokelatan, celana jeans, dan sepatu sport,
serta sebuah ransel di belakangnya. Sesekali dia menghindar dari jalan aspal
yang sudah tergenang air.
Perlahan
tapi pasti, tak lama setelah menempuh jarak sekitar 3,5 km dari jalan
Medan-Banda Aceh, masuk melalui bawah jembatan yang terletak di Kampung Beusa
tembus ke Kuala Beukah. Sampailah di Desa Blang Balok, Peureulak. Kelengangan
terasa ketika sepeda motor wartawan majalah ini berhenti di pinggiran kiri
jalan desa tersebut.
Tanah
yang masih lembab akibat hujan sebelumnya, membuat aktivitas masyarakat desa
ini tampak jeda sesaat, lantas, suara kambing yang mengembek dan seorang ibu
yang sedang mengibaskan pakaian yang akan dijemurnya, seolah memecah
suasana di hari Minggu yang senyap itu.
Sekilas
menoleh ke kiri, langsung terlihat sebuah bangunan berukuran sekitar 4x3 meter
dengan beratapkan seng berwarna merah, seperti kulit manggis yang sudah siap
untuk dipetik. Atap tersebut dibuat segitiga yang mengerucut ke atas untuk mempermudah
mengalirnya air hujan ketika air langit itu tumpah ke bumi. Di bawahnya
jelas terlihat sebuah benda peninggalan bersejarah, menghadap ke jalan dan
diletakkan berdampingan dengan jeungki
(alat penumbuk padi tradisional Aceh).
Sambil
menghubungi seorang yang saat ini dipercaya untuk menjadi penjaga peninggalan
tua itu, kami mulai masuk melalui pintu gerbang yang jelas terlihat sudah tua,
sekilas pandang, satu sisi yang menghadap ke jalan terdapat sebuah papan
informasi berwarna putih, huruf bercetak tebal pada papan informasi yang sudah
berkarat karena terbuat dari besi putih dan sudah tua itu bertulis, "SITUS
SEJARAH MERIAM TURKI" Negeri Peureulak Abad ke XIV/1568 M.
Peureulak-Kabupaten Aceh Timur. Lokasi Jalan Kuala Beukah Km. 02 Gampong Blang
Balok.
Sekitar
20 meter lebih dalam dalam kawasan dan gerbang yang sama, ternyata ada Taman
Kanak-kanak (TK) TAMAN MERIAM TURKI. Begitu tertulis di satu sisi bangunannya
yang menghadap ke jalan. Di halamannya, juga terdapat ayunan dan sarana bermain
lainnya. Tak lama kemudian, pria yang tidak terlalu kurus dan hitam manis
menghampiri kami setelah sepeda motornya diparkir bersebelahan dengan kendaraan
kami. Pria berkumis tebal dengan topi berwarna krem ini langsung mengulurkan
tangannya dan melemparkan senyum.
"Assalamualaikum, kiban? Peu haba?"
Sapanya ramah walau sebelumnya kami belum pernah bertemu. Seperti biasa kami
langsung bertatapan dan menjawab salam.
Lantas, pria ini memperkenalkan namanya sebagai Darmawan. Dia juga mengatakan orang di kampungnya sering memanggil dengan sapaan Yahwan. Suasana pun mencair sembari saling melempar senyum dan berkenalan, kami pun langsung berbicara panjang lebar, kami berdiri jarak sekitar satu meter di bawah atap yang melindungi meriam yang diyakini sebagai salah satu peninggalan Turki di bawah langit Peureulak, Aceh, atau yang dikenal dengan Meriam Lada Sicupak.
Sekilas
melihat dalam lembaran catatan sejarah yang ditulis oleh peneliti sosiologi muslim
dari Istanbul, Turki, Dr. Mehmet Ozay. Dalam bukunya yang berjudul Kesultanan
Aceh dan Turki-Antara Fakta dan Legenda. Sebagai seorang peneliti dari Turki,
Dr Mehmet Ozay mencatat, sultan ketiga Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Sultan
Ali Mughayat Syah al-Qahhar, pernah melakukan tindakan monumental kala itu.
Sultan
Aceh mengirimkan utusan ke Kostantinopel (saat ini bernama Istanbul) bernama
Omar dan Hussain, untuk bertemu dengan Sultan Ottoman pada 7 Januari 1565,
utusan tersebut membawa sejumlah komoditas berharga ke Kostantinopel,
seperti lada dan rempah dari Aceh. Intelektual
muslim ini menulis, peristiwa tersebut dikenal dengan Lada Sicupak.
ilutsrasi |
Kisahnya
seperti yang tertinggal dan tercatat dalam surat-surat hubungan kedua
kesultanan ini, hal senada juga diceritakan oleh pria berkumis tebal itu saat
kami berdiri di bawah matahari yang mulai memancarkan kembali sinarnya. Sedikit
kilas balik mengenai catatan sejarah atas penamaan Meriam Lada Sicupak adalah saat utusan Aceh tiba di Kostantinopel pada
1565, Sultan Turki Usmani pada saat itu, Sulaiman, sedang memimpin pasukan
dalam peperangan melawan Hungaria di medan perang Szigetwar di Eropa Timur.
Sekitar
dua tahun lamanya utusan Aceh yang sudah tiba di Istanbul masih belum bisa memasuki
Istana dan tidak bisa bertemu dengan Sultan Turki yang sedang menjabat. Selama
menanti masa berlangsungnya peperangan tersebut serta mangkatnya Sultan Sulaiman
menyebabkan utusan Aceh itu menghabiskan waktu lebih lama di
Kostantinopel.
Utusan
Aceh tersebut terpaksa harus menafkahi diri mereka sendiri dengan menjual
komoditas yang mereka bawa bersama dengan hadiah yang akan dipersembahkan kepada
sang Sultan. Hemat kata, setelah Selim II, putra Sultan Sulaiman, menjadi
Sultan Ottoman (Kesultanan Turki), barulah utusan Aceh memperoleh kesempatan
untuk melakukan kunjungan resmi ke istana.
Saat
itu, yang tersisa di tangan mereka hanyalah secupak (segenggam) lada dan itulah yang dapat mereka hadiahkan kepada sultan
yang baru saja dilantik. Dalam pertemuan resmi tersebut, sultan Turki Usmani
memutuskan untuk mengupayakan bantuan militer ke Aceh yang di antaranya
termasuk sebuah meriam yang secara simbolis dinamakan Lada Sicupak.
Sejenak
memandang ke sisi kanan kami berdiri, sebuah meriam sekira panjangnya dua meter
dengan balutan kain putih di ujungnya dan ditopang oleh kaki yang terbuat dari
besi, masih berdiri kokoh di bawah atap seng yang dipugar. Sembari memperhatikan,
Yahwan menceritakan apa yang diketahuinya tentang meriam tersebut dari
orang-orang tua di kampung tersebut.
"Kala
perang Portugis dulu, meriam ini masih aktif, namun saat masa perang Belanda,
meriam tersebut sudah tidak difungsikan lagi, serta jejaknya sempat hilang
entah ke mana. Orang-orang tua di sini sering bercerita tentang meriam tersebut
kepada anak cucunya," kata Yahman mengisahkan dengan tangan kanannya yang
bertahan dengan kayu penyangga atap tempat meriam tersebut diletakkan.
Penuh
semangat, Yahwan menjelaskan. Konon, katanya Meriam tersebut baru ditemukan
kembali pada tahun 1976, meriam itu ditemukan kembali oleh almarhum Tgk
Muhammad Ben, dalam keadaan tertanam di samping sungai yang letaknya sekitar 30
meter dari letak meriam tersebut saat ini. Dikatakannya juga meriam tersebut
sempat dibawa ke PKA di Banda Aceh tahun 1989.
Selesai
berbicara sedikit banyaknya, kami juga sempat berjalan dan melihat tempat di mana
meriam tersebut ditemukan. Memang tempat tersebut sudah ditumbuhi semak belukar
yang tidak jelas apa nama tumbuhannya, alias rerumputan hutan. Sekilas pandang,
tidak selayaknya meriam tersebut diletakkan pada tempat yang begitu
memprihatinkan, tempat yang lebih berharga layak untuk sebuah meriam yang sudah
berusia ratusan tahun dan menjadi saksi bisu sejarah Aceh.
Namun
apa hendak dikata, kesadaran untuk menghargai warisan sejarah bangsa yang masih
kurang dalam diri 'bangsa teulebeh ateuh rueng donya' membuat sejumlah
peninggalan sejarah menjadi pajangan yang seakan tiada arti. "Sudah pernah
beberapa kali kita membuat proposal untuk pemerintah, tapi belum ada jawaban
sampai sekarang. Kami berharap ini bisa dirawat dengan baik," harap
Yahwan.
Tentu
meriam ini hanya satu dari sekian banyak meriam lain yang dikirim oleh Turki ke
Aceh. Apalagi sejarah mencatat, Turki tidak hanya mengirim meriam saja ke Aceh,
melainkan juga mengirim ahli-ahli di bidang meriam dan taktik perang. Tentu,
meriam yang terdapat di Desa Blang Balok ini adalah satu di antara sekian
banyak meriam yang pernah menyentuh tanah Aceh.
Menurut informasi yang kami himpun dari sumber lain,
karya lama Aceh berjudul Hikayat Meukuta
Alam yang disampaikan sebagai cerita lisan tentang hubungan Aceh dengan
Turki masa silam menegaskan, Aceh melindungi Meriam Lada Sicupak sampai pecah Perang Belanda tahun 1874. Bahkan, ada beberapa artikel yang menceritakan
tentang Lada Sicupak yang
diterbitkan pada pertengahan abad ke-20 di Turki.
Sayang-sungguh
sayang, warisan budaya tersebut yang menjadi bukti simbolis hubungan Aceh
dengan Turki, kini sudah tidak ada lagi di Aceh. Sebagian besar sudah diangkut
oleh tentara Belanda selama fase kedua invasi Belanda di Aceh. Meriam bersama
artefak-artefak lainnya diangkut ke negeri Belanda.
Tak
terasa, hari pun sudah siang, kami memohon izin dari Yahwan dan bergerak ke luar
dari desa yang menyimpan benda bersejarah tersebut. Dalam perjalanan pulang,
kami hanya bisa membatin, sembari berharap andai suatu saat ada pemimpin yang
bisa membawa pulang bukti peninggalan-peninggalan sejarah Aceh yang saat ini
tersimpan di museum-museum besar di benua lain. Amin.[]
Komentar
Posting Komentar